Media Indo Pos,Jakarta – Tim penyelidik Belanda mengatakan ada indikasi kuat Presiden Rusia Vladimir Putin secara pribadi memberikan persetujuan untuk mempersenjatai kelompok separatis di Ukraina timur pada 2014 dengan rudal.
Rudal dari Rusia itu diyakini digunakan kelompok separatis pro-Moskow di Ukraina untuk menembak jatuh pesawat komersial Malaysia Airlines MH17 yang saat itu tengah terbang dari Amsterdam menuju ke Kuala Lumpur, Malaysia. Insiden itu terjadi pada Juli 2014 ketika kerusuhan tengah pecah di Ukraina timur usai Crimea dicaplok Rusia.
Dugaan itu muncul usai Tim Investigasi Gabungan Kejaksaan Umum Belanda membeberkan informasi dari percakapan telepon pejabat Rusia yang disadap.
“[Ada] inidikasi kuat bahwa di Rusia, presiden membuat keputusan soal pemberian Buk-TELAR [sejenis rudal] kepada separatis DPR [Republik Rakyat Donestk],” demikian kata penyelidik pada Rabu (8/2), seperti dikutip dari CNN.
Donetsk atau DPR–begitu Rusia menyebutnya–merupakan wilayah yang dikuasai kelompok separatis Pro-Rusia. Dari percakapan itu pula, pejabat pemerintah Rusia mengatakan keputusan tentang dukungan militer berada di tangan presiden.
“Keputusan itu malah diundur seminggu ‘karena yang mengambil keputusan hanya satu orang yang sedang ada di KTT di Prancis’,” ujar penyelidik lagi.
Pada 5-6 Juni, lebih dari sebulan sebelum insiden, Putin memang tengah berada di Prancis. “Ada informasi konkret bahwa permintaan dari separatis disampaikan kepada presiden, dan keputusan positif diambil,” lanjut penyelidik.
Meski demikian, penyelidik tak mengetahui apakah permintaan separatis secara jelas menyebut sistem rudal buk atau tidak.
“Tak lama kemudian, sistem pertahanan udara berat dikirimkan, termasuk sistem rudal buk yang kemudian menembak jatuh MH17.”
Namun, bukti lengkap dan konklusif sejauh ini belum, terpenuhi. Di sisi lain, jika pun Putin terlibat, sebagai kepala negara, ia memiliki kebal hukum dari tuntutan hukum.
Dalam temuan terbaru mereka, para penyelidik Belanda juga mengatakan sejumlah pemimpin DPR memiliki hubungan dekat dengan penasihat Kremlin dan dinas intelijen Rusia.
“Setelah separatis meminta senjata antipesawat dengan jangkauan yang lebih tinggi, permintaan mereka pada paruh kedua Juni 2014 dibahas di pemerintahan Presiden di Moskow. Itu adalah badan negara yang mendukung presiden,” kata penyelidik di pengadilan Belanda.
Mereka kemudian berujar, “Setelah itu, permintaan sistem pertahanan udara yang lebih berat diajukan kepada Menteri Pertahanan dan Presiden.”
Para penyelidik juga mengatakan permintaan separatis disetujui presiden dan para menteri. Namun, mereka juga menyebutkan tak ada bukti cukup kuat untuk memulai penuntutan baru. Hingga saat ini, pihak berwenang pengadilan belum bisa menentukan siapa operator Buk-TELAR. Selain itu, informasi konkrit lain juga masih kurang.
“Belum bisa ditentukan mengapa mereka menembakkan roket Buk ke MH17, apa misi mereka, dan informasi apa yang mereka berikan atau miliki pada saat menembak,” kata penyekidik lagi.
Pada Juli 2014, pesawat MH17 sedang dalam perjalanan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur. Ketika itu, rudal meluncur di atas wilayah yang dikuasai pemberontak pro-Rusia di timur Ukraina. Seluruh penumpang yang berjumlah 298 orang di dalamnya tewas.
Tim Investigasi Gabungan mengatakan telah membagikan temuannya kepada keluarga 298 korban.
Pengadilan Belanda sebelumnya sempat memvonis penjara seumur hidup terhadap tiga terdakwa terkait tragedi MH17 pada Desember 2022. Mereka yakni dua warga Rusia dan satu warga Ukraina. Hakim menyatakan ketiga orang ini bersalah secara in absentia atau pemeriksaan tanpa kehadiran pihak tergugat. Namun, hingga kini mereka masih buron. Beberapa pihak menyebut, para terdakwa kemungkinan besar tak akan menjalani hukuman di penjara.(Red)